Bicara Allah..

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ~ Faathir; 28

Pesan Rasulullah..

“Para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Darda’) Para ulama adalah pewaris para nabi. Bila risalah Islam ini disampaikan kepada umat manusia oleh Rasulullah Muhammad saw hingga menjadi rahmat bagi sekalian alam, maka demikianlah inti dari tugas para ulama.

Kenal Ulama

Ulama Dalam al-Qur`an

Rasulullah saw bersabda, “Dua dari golongan umatku yang –menentukan-, apabila mereka baik, maka baiklah manusia. Bila mereka buruk, maka buruklah manusia. Mereka adalah para pemimpin [umara`] dan ulama [fuqaha`].” HR. Ibn ‘Abd al-Barr dan Abu Na`im.

Ulama seperti apakah yang dimaksud? Salah satu ayat al-Qur`an yang menyebutkan tentang ulama adalah Surat Fâtir [35] ayat 28.

Teks ayat:

…ﺇﻨﻤﺎ ﻴﺨﺸﻰ ﺍﷲ ﻤﻥ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﺍﻠﻌﻠﻤﺎﺀ…

Ertinya: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fâtir [35] ayat 28).

Secara global ayat di atas dapat diaritikan bahwa hamba Allah yang paling takut di antara para hamba Allah di bumi ini adalah para ulama. Pertanyaan selanjutnya, apakan semua ulama itu secara otomatis bisa takut kepada Allah? Namun sebelumnya, pertanyaan yang lebih mendasar, yaitu siapakah ulama yang dimaksud dalam ayat tersebut?

Kata “al-‘ulamâ`” adalah bentuk jamak dari kata “al-‘âlim” yang terambil dari akar kata yang berarti mengetahui secara jelas. Maka ulama adalah orang yang mengetahui secara jelas.

Pada ayat ini, terdapat perbedaan ulama dalam menafsirkan kata “al-‘ulamâ`.” Sayyid Qutb menafsirkan ayat ini sebagai orang-orang yang memperhatikan kitab alam yang menakjubkan. Sedangkan Ibn ‘Âsyûr dan Tabâtabâ`i memahami kata ini sebagai orang yang memahami ilmu agama. Ilmu agama yang dimaksud adalah ilmu tentang mengenal Allah, nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Tabâtabâ`i menjelaskan bahwa mereka [ulama] adalah mereka yang memahami ilmu tentang Allah. Dari ilmu itu mereka bisa mengenal Allah dengan pengenalan yang bersifat sempurna sehingga hati mereka menjadi tenang dan keraguan serta kegelisahan menjadi sirna. Semua itu juga akan nampak pada kegiatan mereka, baik perbuatan maupun ucapan mereka.

Sedangkan Ibn ‘Âsyûr menulis bahwa ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Seluas pengetahuan tentang hal itu, maka seluas itu pula kadar ketakutan [khasyat] mereka pada Allah. Seorang alim adalah orang yang mengetahui syariat secara jelas dan dia tidak akan samar tentang hakikat keagamaannya. Dia menegtahuinya dengan mantap dan memperhatikannya serta mengetahui dampak baik dan buruknya. Ia akan mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan berdasar pengetahuan yang “sebenarnya” itu, yaitu pengetahuan tentang apa yang dikehendaki atau dilarang Allah dalam syariat. Kalaupun suatu waktu ia melanggar dari pengetahuannya, ia sadar bahwa yang ia lakukan itu adalah perbuatan yang melanggar. Maka di suatu saat selanjutnya, ia akan meninggalkan perbuatan tersebut. Adapun orang yang bukan alim tetapi mengikuti jejak orang alim, maka ia serupa dengan para alim. Rasa takutnya pun tumbuh sebagaimana rasa takut para ulama.

Adapun pendapat Sayyid Qutb dalam hal ini adalah bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah mereka yang memperhatikan kitab alam yang menakjubkan. Dari perhatian itu mereka mampu menegnal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya. Mereka mengenal Allah dari hasil ciptaan-Nya, mereka menjangkau-Nya melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan hakikat kebesaran-Nya dengan melihat hakikat ciptaan-Nya. Dari hal tersebut, mereka akan merasakan rasa takut kepada-Nya serta bertakwa sebenar-benarnya.

Analisis

Ayat ini didahului oleh beberapa ayat yang perlu juga untuk dicantumkan dan dikaitkan.

ﺃﻠﻡ ﺘﺭ ﺃﻥ ﺍﷲ ﺃﻨﺯﻝﻤﻥ ﺍﻠﺴﻤﺎﺀ ﻤﺎﺀ ﻔﺄﺨﺭﺠﻨﺎ ﺒﻪ ﺜﻤﺭﺕ ﻤﺨﺘﻠﻓﺎ ﺃﻠﻭﺍﻨﻬﺎ ﻭﻤﻥ ﺍﻠﺠﺒﺎﻝ ﺠﺩﺩ ﺒﻴﺽ ﻭﺤﻤﺭ ﻤﺨﺘﻠﻑ ﺃﻠﻭﺍﻨﻬﺎﻭﻏﺭﺍﺒﻴﺏ ﺴﻭﺩ ﴿۲۷﴾ ﻭ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺱ ﻭﺍﻠﺩﻭﺍﺏ ﻭﺍﻷﻨﻌﻡ ﻤﺨﺘﻠﻑ ﺃﻠﻭﺍﻨﻪ ﻜﺫﺍﻠﻙ...

Artinya: “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka ragam macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada [pula] yang hitam pekat [27]. Dan demikian di anatara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. ....” (QS. Fâtir [35] ayat 27 dan 28).

Ayat tersebut mendahului ayat yang sedang dibahas. Setidaknya hal ini bisa menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ulama tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mengetahui dan memahami ilmu agama saja. Orang-orang yang mengetahui fenomena alam [sebagai contoh adalah ayat “Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka ragam macam jenisnya, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada [pula] yang hitam pekat, di anatara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya”] juga bisa dimasukkan dalam kategori ualam, sesuai dengan sambung menyambungnya kedua ayat tersebut dengan pembahasan “al-‘ulamâ`.”

Lantas, apakah secara otomatis mereka, baik yang mengetahui fenomena alam maupun orang-orang yang mengetahui dan memahami ilmu agama saja itu bisa takut kepada Allah, lantas bisa disebut dengan ulama?

Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang disebut ulama [baik yang mengerti agama maupun fenomena alam] adalah orang-orang yang karena ilmu pengetahuannya bisa menjadikannya takut [khasyat] kepada Allah. Sedangkan khasyat yang dimaksud adalah rasa takut yang disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Sehingga orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang suatu objek [baik agama maupun alam] yang darinya lahir rasa takut yang disertai penghormatan itulah yang disebut dengan ulama. Hal ini juga berarti bahwa orang yang tidak memiliki rasa takut yang disertai penghormatan bukanlah ulama, sekalipun ia memilki segudang pengetahuan.

Bila diurutkan, syarat dan urutannya adalah sebagai berikut:

Seorang yang mengetahui [agama maupun alam] takut [khasyat] kepada Allah = Ulama

Hal ini tidak bisa dibalik menjadi:

Ulama Seorang yang mengetahui [agama maupun alam] = takut [khasyat] kepada Allah

Adapun yang bisa dicatat dari kesimpulan ayat ini. Pertama, bahwa antara pengetahuan umum maupun agama tidak ada perbedaan kewajiban pencariannya serta derajat yang diakibatkannya. Keduanya wajib dituntut [dicari]. Dan keduanya bisa memberikan derajat “al-‘ulamâ`” bila keduanya bisa mengantarkan “sang pencari pengetahuan” pada rasa takut yang disertai penghormatan kepada Allah. Dengan demikian, ilmu alam juga tidak boleh lepas dan bebas dari apa yang disebut dengan rasa takut kepada Allah [spiritualitas]. Dengan demikian, tidak ada sekularisme ilmu penegtahuan dalam Islam bila kita benar-benar memahami yata ini dengan baik.

Kedua,bahwa seorang yang mempunyai segudang ilmu, baik ilmu agama maupun alam, tidak secara otomatis bisa merasakan rasa takut kepada Allah. Bahwa seorang ilmuwan belum tentu bisa disebut dengan ulama. Rasa takut itu adalah sesuatu yang “diusahakan,” sesuai dengan keinginan “sang pencari ilmu.” Ia tidak begitu saja hadir dan dimiliki oleh setiap orang. Karena itulah ia menjadi syarat seseorang untuk bisa disebut sebagai ulama.

Pada tahap selanjutnya, ia akan memperoleh beberapa derajat yang begitu tinggi. Derajat orang-orang yang berilmu, seperti yang dijelaskan dalam beberapa ayat al-Qur`an [al-Mujâdalah ayat 11, al-Zumar ayat 9, al-Ra’d ayat 43, al-‘Ankabût ayat 96, dan lain-lainnya]. Ia juga diharapkan mampu menjadi “sang penentu” kebaikan masyarakat.

0 comments:

Post a Comment



 

Radio

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent